
Gaya Hidup Penjual Tisu di Pinggir Jalan: Potret Keteguhan dalam Keterbatasan
collarcityrecords – Di tengah riuh rendah kota, di bawah teriknya matahari atau guyuran hujan, selalu ada sosok yang sering luput dari perhatian: penjual tisu di pinggir jalan. Mereka berdiri atau berjalan menyusuri lampu merah, menawarkan sebungkus kecil tisu yang mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, namun sesungguhnya menyimpan cerita panjang tentang perjuangan hidup, harapan, dan ketabahan.
Keseharian yang Dimulai dari Subuh
Gaya hidup penjual tisu biasanya dimulai sejak fajar menyingsing. Banyak dari mereka tinggal di tempat tinggal seadanya, seperti rumah petak, kontrakan sederhana, bahkan sebagian menumpang hidup di pos ronda, trotoar, atau kolong jembatan. Mereka bangun pagi-pagi untuk bersiap menjajakan dagangan—membersihkan diri sebisanya, mengenakan pakaian yang masih layak pakai, dan menyiapkan plastik berisi puluhan bungkus tisu.
Sebagian dari mereka membeli tisu dari grosir atau distributor kecil, biasanya dengan modal harian yang sangat terbatas, sekitar Rp20.000 hingga Rp50.000. Mereka tidak punya ruang penyimpanan yang luas, jadi semua stok harus dijual hari itu juga atau dibawa pulang kembali. Modal yang kecil membuat mereka tak bisa berspekulasi: harus pandai membaca kondisi lalu lintas dan cuaca untuk menentukan di mana sebaiknya mereka berdagang hari itu.
Lokasi, Strategi, dan Tantangan
Biasanya, mereka memilih tempat yang ramai—persimpangan jalan, lampu merah, terminal, atau area perkantoran. Saat lampu merah menyala, mereka cepat-cepat berjalan dari satu mobil ke mobil lain, menawarkan tisu dengan harapan ada yang membuka kaca dan membeli. Mereka hanya punya waktu 30–90 detik setiap kali lampu merah menyala. Setiap senyum, sapaan, atau anggukan menjadi strategi halus agar tak terlihat memaksa.
Namun, pekerjaan ini jauh dari mudah. Mereka harus menghadapi panas yang menyengat, asap kendaraan yang mengepul, hingga hujan yang membasahi tubuh dan barang dagangan. Belum lagi risiko kecelakaan, terutama bagi yang menjajakan tisu di jalanan sibuk. Banyak juga dari mereka yang harus menghadapi penertiban oleh aparat, yang terkadang datang mendadak tanpa kompromi.
Pendapatan Tak Menentu
Penghasilan seorang penjual tisu sangat fluktuatif. Dalam sehari, jika beruntung, mereka bisa menjual 50–100 bungkus dengan harga Rp2.000–Rp5.000 per bungkus, tergantung lokasi dan jenis tisunya. Setelah dipotong modal, biasanya mereka membawa pulang sekitar Rp30.000–Rp70.000. Namun di hari sepi, saat hujan deras atau ada penggusuran, mereka bisa pulang dengan tangan kosong.
Meski kecil, uang itu tetap sangat berarti. Untuk sebagian dari mereka, itu cukup untuk makan sehari, membeli beras, atau menyisihkan sedikit demi menyekolahkan anak. Ada pula yang harus membaginya untuk membayar kontrakan atau membeli obat untuk orang tua yang sakit. Dalam hidup mereka, setiap rupiah punya makna dan tujuan.
Keluarga dan Kehidupan Pribadi
Banyak penjual tisu di pinggir jalan adalah kepala keluarga. Tak sedikit pula yang merupakan ibu tunggal atau orang tua lanjut usia yang tak punya penghasilan tetap. Ada juga remaja atau anak-anak yang membantu orang tuanya mencari nafkah dengan menjual tisu sepulang sekolah. Hidup mereka menyatu dengan perjuangan, tapi tetap menyisakan ruang bagi kasih sayang dan pengorbanan.
Meski lelah, mereka pulang dengan senyum ketika bisa memberi makan keluarganya. Waktu istirahat sering kali minim. Mereka makan di pinggir jalan, minum air dari botol bekas, dan kadang tidur di emperan toko. Hiburan mereka mungkin hanya secangkir kopi sachet, radio tua, atau obrolan dengan sesama penjual saat hari mulai lengang.
Stigma dan Perlakuan Masyarakat
Sayangnya, tak semua orang memandang mereka dengan simpati. Banyak yang menganggap mereka pengganggu lalu lintas atau mencurigai mereka bagian dari sindikat. Bahkan ada yang meremehkan pekerjaan mereka, menganggap menjual tisu adalah tanda kemalasan atau pilihan yang buruk dalam hidup. Padahal, sebagian besar dari mereka lebih memilih berdagang jujur ketimbang mengemis atau mencuri.
Tak jarang, penjual tisu mengalami perlakuan kasar—diusir, diteriaki, atau diabaikan seolah mereka tak ada. Tapi di balik semua itu, mereka tetap bertahan, tetap berdiri, dan tetap menawarkan tisu dengan senyum dan kesabaran. Karena bagi mereka, kehormatan adalah bekerja dan tidak menyerah.
Harapan yang Tak Pernah Padam
Di balik gaya hidup yang keras dan penuh keterbatasan itu, tetap ada harapan. Banyak dari mereka bermimpi bisa punya lapak tetap, kios kecil, atau bahkan warung sederhana. Ada pula yang berharap bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, agar kelak tak harus hidup di jalanan seperti mereka.
Mereka tidak butuh belas kasihan, tapi kesempatan. Akses terhadap pelatihan, modal usaha kecil, atau ruang berjualan yang lebih aman dan legal bisa sangat membantu. Banyak komunitas dan LSM yang mulai merangkul para pedagang jalanan, termasuk penjual tisu, untuk memberikan mereka pelatihan keterampilan atau bantuan modal. Namun jumlahnya masih sangat terbatas dibanding kebutuhan nyata di lapangan.
Akhir Kata
Gaya hidup penjual tisu di pinggir jalan adalah gambaran nyata tentang bagaimana semangat manusia bisa bertahan dalam kerasnya kehidupan. Mereka mungkin tak punya pakaian rapi atau pekerjaan kantoran, tapi mereka punya kehormatan karena memilih bekerja, bukan menyerah. Di tengah kepungan stigma, cuaca ekstrem, dan ketidakpastian, mereka tetap menjalani hari demi hari dengan harapan sederhana: bisa bertahan hidup dengan layak dan bermartabat.
Jadi, lain kali saat Anda melihat seseorang menjual tisu di pinggir jalan, ingatlah bahwa di balik tangan yang mengulurkan sebungkus tisu itu, ada cerita panjang tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta terhadap hidup. Mungkin, memberi dua ribu rupiah bukanlah tentang kebutuhan akan tisu, tapi tentang memberi dukungan kecil kepada mereka yang terus berjuang tanpa pamrih di sudut-sudut jalanan kota.